SAJAK KOLAK
“Terbit liurku melihat kolak
Dijual orang di tepi jalan
Untung teringat nasihat emak
Di situ aku dilarang makan….
Terus kupergi menoleh tidak
Ubi kubeli serta cempedak
Kubawa pulang untuk emakku…
Kolak sekarang dimasak emak
Kami menanti tidaklah lama
Hidangan murah makan bersama…”
Demikian bunyi sajak itu…tiba-tiba lancar meluncur dari bibir saya bagai mantra saat saya menuang santan dan mengaduk kolak yang saya masak.
Beberapa saat kemudian sayapun termenung dan bertanya pada diri sendiri:
“Haaah !!Itu sajak zaman kapan ya?”
Jantung saya berdegup agak lebih kencang…lho, itu kan sajak waktu SD dulu!
Rasanya tak pernah ada ekstra waktu saya untuk menghapalkan sajak itu dalam kurun waktu satu dekade terakhir.(Boro-boro menghapalkan…ada usaha untuk mengingat eksistensinya pun tidak)
Ah….tak sangka sajak itu ternyata tanpa saya sadari mengesankan buat saya.
Saya generasi anak SD zaman pelajaran Bahasa Indonesia bertokoh Budi dan Wati. Apakah sajak kolak ini dari buku pelajaran yang sama ya?
Entahlah.. saya tak ingat lagi… dan sayapun jauh dari rumah orangtua saya sehingga saya tidak punya kesempatan untuk memeriksa buku-buku lama saya waktu SD dulu.
Dulu…
Ibu guru saya adalah guru sepuh yang saat saya lulus SD sudah pensiun….seingat saya beliau jarang mengajarkan teori sastra, melainkan lebih banyak bersajak, memberi nasehat dan bercerita.
Beliau benar-benar ahli bercerita.
Yoyok**, murid nakal yang pernah hampir membuat kepala saya bocor karena melemparkan botol selai ke kepala saya saja bisa duduk tenang dan menyimak.
Alhasil Bahasa Indonesia adalah salah satu pelajaran yang paling saya suka dan saya tunggu-tunggu, hingga jika hari itu ada pelajaran bahasa Indonesia maka saya tak sabar untuk lebih cepat berangkat dari rumah menuju sekolah.
Kembali ke Kolak.
Sungguh sejujurnya waktu kecil saya tak suka kolak. Kesal rasanya jika sore hari saya mencium baru kolak pisang. Perpaduan kejengkelan yang nyaris sempurna…saya tak suka pisang, eh pisangnya dibuat kolak pula!
Tapi…sejak “sajak kolak” ini diajarkan hati saya melembut terhadap pisang dikolak.
Walau cinta pada kolak tak kunjung datang, tapi setidaknya ketika kolak disajikan oleh ibunda, hati saya tak lagi berontak.
Kini….
Ah, saya jadi tersenyum sendiri.
Kolak, bukan lagi sajian yang dengan mudah tinggal saya nikmati.
Saya sendirilah yang harus membeli bahan kolak dan memasaknya untuk jadi kudapan sore ini.
Tapi…ini bukan negeriku sendiri! Tongkat dan kayu dilempar tak selalu jadi tanaman di sini. Kemana lagi ubi dan cempedak harus ku cari??
*heheheh ..it’s not that dramatic though*
Tak ada rotan akarpun jadi. Tanpa ubi dan cempedak, pisang tandukpun jadi.
Untung pisang tanduk masih banyak saya dapati di toko ASIA.
Syukurlah…Saya suami saya ternyata suka kolak dan dengan lahap menikmati kolak yang saya hidangkan.
Bisa jadi “sajak Kolak” yang saya cantumkan di awal postingan ini, juga pernah membuatnya terkesan saat duduk di banku SD.
Entah bagaimana kurikulum SD di Indonesia saat ini.
Masih diajarkan tidak yah “sajak Kolak” ini di sekolah?
RESEP KOLAK
Untuk resep kolak, saya meniru langsung dari blog tetangga saya, sang pemilik Kedai Hamburg yang tersohor: Mbak Retno.
KOLAK PISANG versi Kedai Hamburg
Ingredients:
4 banana plantains
1 can palm´s seeds (without water)
350 g gula jawa/palm sugar
400 ml coconut milk
400 ml water
1 cinnamon stick (4cm)
directions: peel and cut the plantains into small rounds. Boil water with palm sugar and then sift. Pour in the palm sugar syrup in a sauce pan together with banana plantains. Add coconut milk and cinnamon stick. Bring to boil and let simmer for about 10 – 15 minutes.
Hmmm…resep ini adalah resep kolak paling enak yg pernah saya coba!!!!!
Hanya saja santannya agak saya kurangi karena untuk kolak, uda dan saya lebih suka kolak yang tidak kental.
nyamm…
nyamm…
Kolak, anyone?
** Adalah nama yang sebenarnya.