teman imaji

Invisible yet not Impossible. I exist.

Month: October, 2009

Tukang Foto yg Galak ^_^

Ini bukan kali pertama saya menyatakan bahwa saya tidak terlalu suka motret orang atau model.
Seperti yang sering saya bilang ke banyak teman, saya paling suka motret kembang atau benda mati yang tak perlu banyak diatur, dimana satu hal yang musti saya peras dengan keras kepala jika mau puas dengan hasil jepretan, hanyalah diri saya sendiri.

Saya meyakini bahwa jadi model itu tak mudah. Sang model harus ikut berjuang untuk membantu terciptanya gambar yang indah dengan bersusah payah.
Apalagi jika peralatan si pemotret tak cukup komplit dalam menghadapi situasi di lokasi pemotretan. Makin sengsara saja deh itu model….

Sadar akan hal tersebut, dan modal motret saya “hanya” sebuah kamera saku imut, ditambah lagi dengan kenihilan niat untuk menyengsarakan anak orang padahal saya ingin foto yg saya hasilkan nggak jelek-jelek banget, maka makin engganlah saya motret model.

Pun, kalau ada teman yang sambil lalu berkata…..”Potretin gue yang bagus dong Les”.
Saya akan ogah-ogahan dan tanggapi dengan nyengir doang.
Kecuali kalau sang teman ‘cuma’ sekedar ingin dokumentasi tanpa nilai seni. Ya mari saya potretin, sini.
Intinya, saya mau motret orang, tapi jangan bebankan saya setitikpun ekspektasi.
Kondisi saya begini, resiko tanggung sendiri.

Tapi terhadap hampir semua hal, selalu ada pengecualian. Termasuk terhadap pernyataan ketidak sukaan saya memotret model.
Ada beberapa sahabat yang nekat.
Mengumpankan dirinya untuk jadi model saya. Tak cuma menerima duet kamera saku saya dan saya, namun juga bersedia menerima syarat-syarat lainnya bulat-bulat.
Mau saya ajak kerja sama.
Tentu saja syarat utama, model saya harus ‘kenal’ dengan saya. Tak malu flirting dengan kamera saya, mau ikut mengejar cahaya, dan mengeluarkan energi ekstra bersama saya. Misalnya…saya tengkurep, ia pun rela melompat berkali-kali. Saya manjat pohon atau naik ke tempat yg bisa meninggikan saya, dia pun rela melentingkan badannya, melebarkan senyumnya, memutar kepalanya sedikit lebih kebelakang sambil menekan otot abdominalnya sembari menahan nafasnya.

Contohnya hari ini.
Kezia bersedia melakukan itu semua.
“Kez…berani kotor gak?…Tolong tiduran di atas batu yang berlumut itu ya…”
“Senderan ke pohon dong Kez…..gak usah takut rambutlu kotor-lah Kez…nanti tokh elu bisa keramas kan?”
“Kezzzziaaaaa…..senyuuummm….SENYOOOOOMMM”
“Kaki kiri maju kedepan, kaki kanan tumitnya diangkat, agak jinjit, badan lurus kedepan, lalu sedikit membusung badanlu sambil nahan nafas perut ditarik, hentakkan tolehanlu ke arah gue…”
“Letakkan lidah di langit langit mulut…biar ga ada dagu Kezz..”
“Kezzz..jangan ngeriyippp”
“Bisa nggak itu rumput di deketin ke muka….”

atau…
saat kami makan siang (rehat setelah kami hampir beku kedinginan karena sesi foto2 di taman yang kelamaan) saya berkata pada Kezia…
“Makan dan santai-santailah Kez…..makan yg banyak ya Kez….percayalah di lokasi foto berikutnya, elu akan banyak menghabiskan tenaga. Kita harus tiba di lokasi tepat waktu sebelum matahari tenggelam, dan kita harus berlari-lari lumayan jauh untuk itu”
Kezia tak gentar…malah makin antusias. Maka sayapun tak cemas.

“Kez….lu gak mau ke toilet?” tanya saya
“Nggak…belum ada panggilan sih…” jawab Kezia
“Gini Kez….sebaiknya terpanggil ataupun tidak terpanggil…baiknya elu ke toilet sekarang juga deh! Sebab, dalam waktu setidaknya dua jam ke depan, kita akan sulit dapat kesempatan ke toilet” tegas saya.
“Oke deh…” Kezia pun segera ngeloyor ke kamar kecil.

Dicereweti tukang foto yang galak…bawel..dan keras kepala.
Itulah resiko yang diterima dan disanggupi Kezia dengan lapang dada, saat ia ‘melamar’ saya untuk jadi guide dan tukang fotonya di Hamburg.

Saya nggak kebayang kalau Kezia malu-malu berekspresi dan jaga jarak dengan kamera saku saya. Atau kalau Kezia males dan ogah-ogahan bergerak. Atau kalau Kezia rewel dan gak mau diatur gayanya dan nggak mau pengertian terhadap darimana datangnya cahaya…belum lagi kalau Kezia ogah kotor dan manja..
Bah…
Horrible…horrible…horrible banget kalau itu terjadi..
Belum sampai setengah hari saya pasti sudah menyimpan kamera saya di saku. Males.
Daripada mengejar hasil foto sesuai keinginan saya, lebih baik saya menjaga agar hubungan pertemanan saya dengannya baik-baik saja.
Mending saya motret taneman, dan hidup saya akan lebih tenang.

Namun syukurlah itu cuma bayangan. Cuma pengandaian.
Saya tak harus menyembunyikan kamera saya demi menjaga persahabatan kami.
Bahkan, tanpa permintaannya untuk dipotretpun saya akan memintanya untuk menemani saya belajar memotret. Sebab, kamera saya sudah jatuh cinta padanya sejak jepretan pertama ketika memotretnya di Berlin musim gugur tahun lalu.

Sumber foto:
Foto 1, 2, 3, 4: Hasil hunting hari ini ^_^
Foto 5: http://wayanlessy.multiply.com/photos/album/227/Secuil_Berlin_bersama_Kezia
Foto 6: http://wayanlessy.multiply.com/photos/album/222/Round_up_Frankfurt-Berlin-Hamburg
Foto terakhir: potona si tukang poto..dipotoin modelnyah..^_^

For Kezia: Danke yah Kez udah jadi model yang menyenangkan dan sekali lagi “memasrahkan’ diri kepada tukang foto galak nan bawel satu ini. Gue jadi bisa sekali lagi belajar motret model sekaligus bersenang-senang dengan seorang kawan tanpa harus mengabaikan kamera gue.
Semoga ada sesi-sesi pemotretan berikutnya ya Kez….mudah-mudahan saat yg berikutnya itu gue sudah jadi tukang poto yg lebih baik lagi (amin) ^_^

Perkenalan yg Tak Terduga

“Pagiiii…!!”
Wuah sepertinya Hamburg akan cerah sekali hari ini. Paling tidak langitnya tak akan flat berkabut putih bak kertas yg biasa parkir di mulut printer, sebagaimana seminggu belakangan. Langit hari ini tak memelas, semoga.
Lihat saja gambar di samping yang saya ambil barusan sebelum mulai menuliskan postingan ini, dari jendela dapur, tempat saya bercokol dengan laptop mini saya saban hari.
Walau suhu di luar sepertinya drop saya harap siang nanti lebih hangat.

Apa ini karena saya sedang senang sekali?
*ngucek-ngucek mata* ternyata tidak deng. Fakta langit cerah independen dari fakta bahwa saya kemarin senang sekali berkenalan dengan seseorang secara tak terduga.

Jadi begini…
Kemarin setelah 2 sahabat baik saya, Kezia dan Rina, menginap di apt kami, kamipun hunting Foto bersama. (walaupun Rina cuma sampai jam 10 pagi, karena kereta ICE yg mengantarnya kembali ke Hannover sudah datang). Bagaimana sih rasanya dikunjungi sahabat dan melakukan aktivitas yang menyenangkan bersama? Tentu membahagiakan!

Rasa bahagia itu berlanjut karena Kezia yg sudah bbrp kali ke Hamburg, berkali-kali berkata bahagia, karena dia tak menyangka kalau Hamburg secantik yang ia lihat sekarang sebab saya membawanya ke tempat-tempat cantik (Yang jelas bukan pusat perbelanjaan kota!). Rupanya baru kali in Kezia naik kapal di Hamburg dan saya ajak berhenti di pelabuhan kecil bernama Oevalgoenne. (sorry for the imprefection of my writing, males nyari tanda umlaut atau titik dua di atas huruf “O”- nulisnya buru-buru soalnya and my main point is not losing my happiness while writing this happiness in my own journal-)

Setelah dari Oevalgoene, Kezia saya ajak ke tempat ngopi favorit saya selama tinggal di Hamburg dulu. Kota gudang tua yg dilingkungi kanal-kanal tua yang dulu fungsinya jadi sarana transportasi pengangkut barang2 dari kapal besar ke gudang-gudang dalam gedung2. (ah ..dulu-dulu saya sering posting ttg tempat ini, nanti saya cari lagi deh postingannya di blog FS yg sudah mati suri)

Segitu ‘cinta’nya saya pada warung atau kedai kopi ini, sampai-sampai ketika seorang teman meminta saya untuk menulis artikel tentang kota Hamburg untuk sebuah media, saya terpikir untuk menceritakan kedai kopi ini sebagai pusat cerita.
Selain tempatnya yang unik, koleksi kopinya adalah kopi-kopi terbaik……dalan hal kualitas dan koleksi biji kopinya,…jauh banget kualitasnya dibandingkan dengan Starbucks..*yucks*… (hei hei…sejak kapan saya sok jadi pemerhati kopi begini?!)

Kezia juga suka sekali dengan kedai kopi cantik itu. Saya makin bahagia dan ngobrol dengan cerianya (dan mungkin juga dengan ‘kicauan’ yg agak lebih nyaring dari biasanya). Sampai seorang pria setengah baya yang semenjak awal duduk satu meja dengan kami, menyapa kami dengan sopan dalam bahasa Jerman yang artinya kira-kira begini:
“Bahasa dari negara manakah yang anda sekalian pergunakan untuk bercakap-cakap sekarang ini, maafkan saya yang sejak tadi tak kuasa untuk tidak menguping percakapan anda sekalian”

Dengan bangga saya menjawab: “Indonesien,…kami dari Indonesia”

Lalu dia berkata bahwa kopi Indonesia adalah salah satu kopi terbaik di dunia.
Kemudian, somehow dengan keminiman pengetahuan saya di bidang itu (tapi dengan ke-sok tahuan yg tinggi) saya menarik pembicaraan ke topik Kopi Luwak. Dan percakapan kamipun jadi makin mengalir deras…(cieh..deras…..berasa lagi ngomongin arung jeram)
Entah mengapa rasa percaya diri saya makin kurang ajar dan akibatnya saya makin sok tahu sehingga terbitlah kalimat:
“Perkenankanlah saya menduga bahwa bisnis kedai kopi yang luar biasa ini, adalah milik anda, benarkah dugaan saya ini?”

dan ternyata….benar! Bahkan bisnis tersebut sudah dijalaninya selama 35 tahun…

Wow…
later on…I found out that we were not only talking casually with the owner of the business, but also, the founder and one of the first Bio Coffee expert in Europe.
Yang tak pelit ilmu dan bersedia meluangkan waktunya menjelaskan banyak pengetahuan tentang kopi kepada kami. (Bahkan sampai bela-belain mengambil buku ensiklopedi hewan karangan direktur pertama Hagenbeckstierpark yg sudah menguning -milknya berpuluh tahun saya rasa- demi menerangkan apa itu Luwak, Kopi Luwak..prosesnya dsb!)
fufufufufu….
Saya melambung kegirangan. (sampai kata Kezia, pipi saya jadi merah merona saking bahagianya dan sampai Kezia malu sendiri melihatnya…lho?)

Ceritanya detailnya ..mungkin nanti-nanti lagi yah….*si Kezia sudah di tunggu oleh mitfahr-nya untuk ke Berlin pagi ini*

(Terserang) Nature Deficit Disorder (?)

Melihat berberapa jenis jamur di tanah dan di kayu, saya sempat berpikir sambil lalu.
“Barapa jenis jamur ya?” “Bagaimana bisa tahu yang beracun dan tidak ya?” “Ah gak penting ..saya tokh bukan Biologist atau Chef masakan Perancis yg musti tahu bagaimana berburu Truffle.”

Lalu saya melihat berbagai macam Berries di semak-semak….jangan tanya saya apa namanya..Blueberries, Waldberries, atau…malah Cherries (aih! itu sih beda banget!).

Tak seberapa lama…saya mendapati diri sendiri sedang dikelilingi oleh kicauan burung yag merdu dengan pitch tinggi dan rendah. Burung apa? Jangan tanyakan pada saya karena saya tak tahu namanya.

Saya cuma bisa meletakkan jari telunjuk di dagu (gaya mikir ceritanya) terkagum-kagum lalu berkata dalam hati….“I’ll google it soon! I’m not just saying this but I plan to..”

Sebenarnya pada awalnya, saya nggak terlalu minder dalam hal ini. Karena vegetasi yang saya lihat bukan vegetasi ranah Nusantara. Tapi lama-lama saya berpikir dan berintorspeksi diri. Apa iya saya kenal macam-macam vegetasi dan hewan-hewan outdoor walau di negeri sendiri?

Sampai kapan saya akan selalu menikmati segala keindahan di sekililing saya, dimanapun saya berada, secara ignorant seperti ini?
Yang seperti ini, pasti bukan keinginan ibu sewaktu mendidik saya dulu. Karena beliau paling getol memperkenalkan pada saya berbagai macam tumbuhan dan hewan yang ada di sekitar kami. Ini bunga itu….itu buah ini…ini biji itu…hewan ini namanya anu…dst…Bahkan tak pernah saya lupa, betapa geli beliau terkekeh kekeh, melihat saya memungut kotoran kambing dan mengangkatnya ke udara dengan seruan gembira: “Ibu….aku menemukan biji KOPI!!”

“Bicaralah pada alam…..mereka akan menjawabmu” begitu kata ibu.

Apa ya yang terjadi kini? Mengapa saya seperti ada jarak dengan alam? Kemana kemampuan saya “bercakap-cakap” dengan pepohonan? Rasanya semuanya kini tak lagi sudi berkomunikasi dengan saya….

Mungkinkah karena saya sudah jarang bermain di taman, di hutan atau di ladang? Kadang-kadang bukannya menikmati kicauan burung, saya malah hampir ikut-ikutan tetangga saya di Singapura yg berkali-kali saya pergoki marah-marah pada burung yg nyaring berkicau di jendelanya dan menimpukinya dengan bakiak. (asli, gak boong–vandal yak?)

Apa ini yang disebut dengan Nature Deficit Disorder pada orang dewasa?
Kalau pada anak-anak jaman sekarang ini memang banyak sekali terjadi.
Kasihan juga….
Percaya atau tidak, makin banyak lho anak-anak yang tidak pernah melihat Sapi hidup…Ayam hidup…Kambing hidup…..
Nggak tahu kalau Buah Semangka itu pohonnya merambat (dikira pohonnya segede pohon Durian!)…
Nggak tahu kalau Asparagus itu dipetik sebelum muncul tunasnya dari permukaan tanah….
Bahkan, memetik buah langsung dari pohonnya adalah suatu kemewahan yang harus diidam-idamkan untuk jadi pengalaman sekali seumur hidup…
Mereka cuma tahu semua sudah terhidang dalam bentuk nuggets dan potongan untuk celupan Fondue.
Waduh
.
.
.

Insya ALLAH, besok saya akan pergi ke hutan, semoga saja bisa jadi tadabur alam yang menyegarkan kembali hubungan saya dengan alam. Amin.

Ini Tentang Cinta Pertama (pada tokoh sebuah kisah..)

“Apa?! Putri raja Panchala ternyata jatuh cinta pada sosok yang pernah mencuri hatiku!!”

Dan sayapun nyaris mengerang dalam bis kota yang membawa saya pulang ke jalan Pasir Panjang.
Bahkan saya merasa agak meriang seperti terbakar penasaran dan kecemburuan.
Pori-pori kepala saya bagaikan cerobong-cerobong asap yang melepaskan uap pertanyaan.
Mengapa harus dia? Dan mengapa kepadanya?
Padahal berjodoh dan bersuami 5 laki-laki yg dimuliakan jadi pahlawan yg di elu-elukan, ia malah keras kepala jatuh hati pada putra angkat kusir Adirata?
Dan mengapa saya tak pernah mengetahui gelagat ini sebelumnya??!

****
Ingatan saya melayang cepat ke pertengahan tahun 1980-an. Dua puluh tahun yang silam saya masih sibuk bertanya pada ibu saya yang sering menguraikan banyak kisah. Juga pada Pekak (panggilan u kakek dalam bhs Bali) saya sebagai back up. Bahkan juga pada bapak saya yang paling enggan berdongeng sekalipun. (untuk soal kisah-kisah, saya hanya bertanya pada bapak saya kalau sudah nyaris putus asa)
“Apakah Adipati Karna itu berhati mulia, Bu?”
“Apakah dia ksatria sejati, Kak (pekak)?”
“Tampankah ia?” (dan tanpa bantuan siapapun, saya memuuskan untuk mengandaikan ketampanan sosok Karna yang bersinar bagai sang Surya di pagi hari)
“Mengapa takdirnya begitu merana, Pak?”
“Siapakah yang kemudian melipur hatinya yg penuh lara dan rasa hina?”

Jika ada yang percaya kalau cinta itu bisa semata-mata datang dari sifat welas asih seorang wanita muda. Maka ia akan mengerti. Bahwa begitulah akhirnya saya merasakan cinta pertama pada tokoh cerita.
Tokoh cerita yang justru tidak digembar-gemborkan sebagai pahlawan utama.
Yang menyisakan sedikit tempat dan kesempatan untuk saya mengkhayalkan kenikmatan menjadi ksatria putri yang memiliki sentuhan sakti, untuk mengobati luka hatinya.
(Mungkin inilah penjelasan bahwa sejak saat itu saya jarang jatuh cinta pada tokoh utama kisah-kisah heroik. I tend to “fall in love” with the “loser”.
Dasar pembaca yang ingin larut dalam cerita secara serabutan, akhirnya malah jadi pemeran pahlawan kesiangan!. Hopefully, this is not one of those criteria to send me to a mental institution.)

Namun cinta pertama itu mati muda.
Walaupun hanya cuma pada sosok dalam cerita, saya terpaksa menerima bahwa para Pandawalah yang patut dipuja. Paling tidak demikianlah dorongan Pekak, Ibu dan bapak mengarahkan khayalan saya terutama pada saat merangkumkan moral dari tiap episode cerita dalam kisah-kisah mereka.

****

Demikianlah dua puluh tahun silam.
Perih patah hatipun tak terelakkan.

Diam-diam saya tidak terima tapi saya tidak protes juga.
Tokh..Karna sang pendengar dan pemegang janji setia bukanlah tokoh utama apalagi pahlawan di pusat moral ceritanya.
Klasik sih, tapi sepertinya pakem yang tak pernah membosankan sebagian besar orang adalah:
“Jatuh cintalah pada sosok pahlawan terhebat, seperti menggantungkan cita-cita setinggi bintang di angkasa”
Jadi…jatuh cinta pada Karna, bukan hal yang sepatutnya.

Akhirnya sempat dalam jangka waktu agak lama, semua orang terdekat, yang tahu kisah Karna terlanjur melekat dalam jiwa saya, berusaha meluruskan persepsi itu.

Ingin menyerahkan hati? Tidak, jika pada Adipati Karna.
Kira-kira begitulah bunyi petuahnya.

Tapi sekarang…..lihatlah.
Saya tidak sendirian.
Drupadi sang Panchali, wanita teristimewa perombak sejarah dalam kisah. Hatinya tergetar pada potret Adipati Karna dan menyimpan cinta yang pahit itu seumur hidupnya…

Akibatnya, saya kembali memikirkan Adipati Karna.
Membayangkan khayalan-khayalan saya tentangnya yang sering berkelebat dua puluhan tahun yang lalu.
Dan jika bukan Panchali, maka Chitra Banerjee Divakaruni-lah yang saya tuduh sebagai biang keroknya.

Ini bukan resensi buku yang sedang saya baca. Karena saya baru saja usai menuntaskan halaman ke dua ratus tiga puluh lima. Itu artinya, belum juga sampai setengahnya.
Tapi sebelum saya terseret jauh kedalam novel “The Palace of Illusion” karangan Divakaruni ini, saya ingin sejenak behenti.
Kalau tidak, saya bisa membaca sambil main hati.
Sebab, walau cuma sebuah buku fiksi…tapi impact-nya cukup gawat dan meracuni akal sehat (akal sehat saya maksudnya).
Terlarut dalam kisahnya, konsistensi emosi tak lagi saya miliki.
Kadang saya mengagumi Panchali, kadang jadi bersimpati, kadang saya cemburu setengah mati, mencibirnya dengan api dengki, namun kadang saya ingin bersekutu dengan Panchali….
Semua itu gara-gara di novel ini, terungkap bahwa kami jatuh cinta pada sosok yang sama.
Sang Raja Angga.

Dan sang raja, tak pernah tahu hal itu, tentu saja.

Picture taken from: Here

Mengunjungi Polisi

Waktu di Melbourne akhir September lalu, saya berkesempatan mengunjungi Victoria Police Museum.
Begitu masuk ke dalam museum yg lokasinya tak jauh dari tempat saya menginap, saya langsung disambut ramah oleh dua orang penjaga museum. Super ramah!. Saking ramahnya, seolah-olah 2 wanita yang saya taksir usianya sekitar 60-an itu seperti sedang menyambut kedatangan cucu kesayangannya di rumah mereka.
Seumur-umur, baru kali ini saya disambut sehangat ini saat mengunjungi sebuah museum.
Ketika saya mengisi buku tamu museum, barulah saya mengerti…sepertinya museum yang masuknya gratis ini amatlah sepi pengunjung.

Padahal saya rasa museum ini cukup penting dan menarik untuk dikunjungi. (himbauan ini terlepas dari fakta bahwa alasan awal saya masuk museum itu, karena “tak disengaja”. Saya sedang mencari kantor pos dan di peta yg saya punya, museum itulah kantorposnya. Ternyata museum Polisi, dan saya memutuskan untuk mampir masuk saja)

Banyak hal dan pengetahuan baru yang saya dapat dari Museum ini.
Yang paling penting, kunjungan ini membuat saya ingin peduli lebih banyak kepada hal-hal yang berbau kepolisian. Jujur saya akui, saya kurang banyak memberi ruang dalam otak saya untuk memikirkan polisi. Padahal, selama 2 tahun belajar dan bermain di TK Bhayangkari, saya setiap hari melihat polisi dan itu adalah tahun2 pertama saya belajar dalam hidup saya..langsung akrab dengan polisi. Tak cuma waktu TK itu, saya pernah punya pengalaman mengesankan saat mengunjungi Polres Beji dan menjenguk penjara imutnya demi sebuah tugas Hukum Acara Pidana. Saya pun juga pernah membuat sebuah tugas karya tulis membandingkan polisi Indonesia dengan Polisi Belanda saat saya masih menyelesaikan S2 saya. Tapi…..kok rasanya saya tak memberikan ruang khusus buat polisi di hati saya ya?

Hmm…mungkinkah kekecewaan saya terhadap banyak oknum polisi Indonesia membuat saya menyimpan jauh2 pengakuan bahwa polisi itu begitu nyata hadir dan berarti dalam hidup saya?

Setidaknya berada di museum polisi kali ini, membuat saya memikirkan perihal polisi (lagi). Dan dalam waktu satu jam (satu jam! selama itu pula saya berada di museum yg sekecil itu dengan betahnya mengamati satu persatu pernak pernik di dalamnya) yang saya pikirkan cuma polisi.

Sesekali sebagai selingan utama, saya memikirkan polisi di Indonesia.


Lagian di beberapa display, banyak cerita ttg keterkaitan dan kerja sama polisi Australia dengan Polisi Indonesia.
Yang menarik lagi, ada satu kasus yg legendaris di sejarah polisi Victoria yang nama korbannya sepertinya nama Indonesia. Sebuah hal yang tak saya harapkan, tapi bagaimanapun membuat saya makin menaruh perhatian pada display-display yang (jika dibandingkan dgn museum-museum lainnya) agak membosankan.

Silahkan klik foto di samping untuk membaca kasus “Pyjama Girl Mystery”
Maaf ya kl kurang jelas fotonya.

Kemudian saya membaca daftar panjang dan foto-foto para petugas yang gugur dalam tugas saat berada dalam lingkungan masyarakat. Baru kali ini saya memandang tugas polisi seheroik ini. Paling tidak, tidak kalah heroik dengan para pejuang di jalur militer yang gugur dalam pertempuran bela negara.
Lama-lama saya jadi merasa bersalah…..kok saya nggak pernah ke museum polisi sebelumnya ya?
Lalu saya langsung berpikir bagaimana dengan polisi di Indonesia? Polisi ini kan harusnya adalah pengayom dan pelindung masyarakat yang paling dekat dengan kita? Mengapa sosoknya……*buru2 getok jidat*
Ah ya…dulu Polisi kita belum mandiri dan masih tergabung dalam ABRI.

*senyum*
Saya jadi ingat keponakan saya, Rafi, kemarin lusa pagi. Yang dengan semangat bercerita tentang baik dan gagahnya pak Polisi. (cukup berbeda dengan cerita ibunya yang kebanyakan bernada jengkel berat ttg polisi, misalnya saat rebutan parkir dengan para polisi yg kantornya di KOMPOLNAS yg letaknya bersebelahan dengan TK anaknya…”semena-mena banget deh polisi-polisi kompolnas itu….” eih tapi ini konteksnya cuma soal hal remeh di parkiran kok…)

Saya berkata pada Rafi.
Wah senang ya Rafi ketemu pak Polisi? Baik yah Pak Polisinya?
TK Rafi kan sama lho sama TKnya bude Lessy. Dulu…bude Lessy kalau sekolah nonton helikopternya pak polisi dulu lho di lapangan belakang…..Polisi itu hebat. Tugasnya mulia dan banyak memberikan manfaat…..
Dulu….waktu bude mau menyeberang jalan sendirian….
lalu….
…..

Entah kenapa kemudian hati saya jadi lebih lapang dan optimis bicara soal polisi.

Rhinoplasty = Operasi Cula?

Out of the blue, tiba2 waktu ada petir besar menyambar pagi-pagi tadi, kata Rhinoplasty hadir di meja sarapan saya.

Kenapa sih nama operasi bedah hidung atau “nose job“, baik untuk alasan medik atau kosmetik, itu namanya Rhinoplasty ?
Entah ya bagi orang lain, tapi mendengar kata Rhinoplasty itu menimbulkan asosiasi instant yg langsung nyetrum kepala, menghasilkan awan khayal berbentuk badak bercula satu melayang sekitar dua centimeter dari ubun-ubun saya.

Tapi kalau dihubung-hubungkan, memang asal usulnya penggunaan kata “Rhino”nya sama bukan?
Jadi, nggak terlalu sesat-lah jika saya menggunakan kata Rhinoceros sebagai pemandu untuk mengetahui arti kata “Rhinoplasty“.

Saya benar-benar mengkhawatirkan pemikiran ini secara serius. Karena saya punya firasat, jika suatu saat saya bertemu dengan dokter bedah plastik atau pasiennya yg baru saja selesai melalui prosedur Rhinoplasty, saya akan enak-enak nyablak: “Bagaimana operasi culanya? Sukses?”

Nggak cuma itu…To my horor, saya malah mulai kepikiran untuk menggunakan diksi “cula” sebagai selingan untuk sesekali menggantikan kata “hidung”.

Misalnya:
1. Hati-hati, dia itu pria bercula belang (hihihi!)
2. Setelah perkelahian hebat itu, culanya patah (kalau cuma sampai sini masih make sense ya? bisa saja yang saya bicarakan ini adalah badak-badak)
3. Culamu mancung deh! (cula gitu lho..)
4. Aduh, culaku tersumbat (???!!!!!??? )

Tapi masalahnya nggak ada lubang cula…(atau? ada nggak sih? oh Tuhan..saya jadi pengen tahu lubang pernafasan Badak selain mulut ada di mana…selama ini nggak pernah mikirin!) Well, kalau gitu saya nggak bisa bilang, “Idih, betapa joroknya dia mengupili lubang culanya di muka publik” dong ya?


Maaf pembahasannya sama sekali gak penting, tapi tetep dong saya tulis sebagai milestones kecil dalam hidup saya. Hubby saja nggak habis pikir kenapa pagi-pagi saya sudah ngoceh soal cula sambil membuatkannya teh. Nggak penting amat sih?
Pembelaan saya (yang punya darah Jawa) untuk menghubungkan bahwa semua ini tidak terlalu tak masuk akal dan gila -yaitu karena Badak yang saya kenal di tanah Jawa adalah Badak Jawa alias Badak Bercula Satu, which is sama dengan jumlah batang hidung manusia pada umumnya- ditolak mentah-mentah oleh hubby.

Ya sudah, saya posting sajalah, siapa tahu suatu saat nanti saya bertanya tanya..sejak kapan ya saya punya pemikiran bahwa diksi hidung bisa saya ganti dengan cula. (Sebuah pemikiran yang salah tentu saja)
Nah saya tinggal buka lagi postingan ini yg ber-tag “Cula”.

Btw, maaf juga fotonya nggak nyambung. Yang di foto di atas itu patung Kudanil, bukan Badak tanpa cula.
Hmm..saya jadi kangen ibuk yg besok pagi akan saya peluk….
Saya ingat dulu waktu SD ibuk sering bikin dongeng personifikasi…”Once upon a time...”(eh gak deng..ibu saya gak pernah bilang pakai once upon a time)
“Pada suatu hari…seekor ibu badak bercula satu berjalan-jalan ke pasar besama anaknya…lalu si ibu Badak bercula satu itu berkata…”Nak..kamu harus makan banyak ya, biar bisa bertahan hidup…lalu punya anak banyak…kita ini sudah hampir punah”

Glek* kok jadi berasa tersindir.
Makan banyak sih udah….beranak banyak yg belum..

Mbak, Mas….Mohon Invitationnya JANGAN KOSONG, ya? ^_^

^_^ Aduwww…perasaan udah bilang di halaman depan ini deh. Kalau mau invite MP saya, jangan kosong dong invitation-nya. Salam pun kok nggak ada?

Apalagi kalau kemudian saya check, ternyata di profile-nya hanya nulis gender saja.
It’s okay, kalau memang untuk melindungi privacy.
Tapi kan anda meng-invite saya?
Bantu saya juga untuk mengenal anda gitu lho…….please??
Gini-gini saya kan punya perasaan juga lho….

Kali ini semuanya saya approve saja sekalian, supaya postingan ini terbaca.
Lalu, saya hanya mempertahankan yang memberi saya respon sampai minggu depan. Mungkin saja ada yg hanya karena lupa atau karena baru gabung dgn MP jadi masih gugup untuk menambah kontak.
Karena jika tidak, maka saya anggap invitationnya sekedar sambil lalu dan asal-asalan dan cuma mengkoleksi MP saya sebagai pelengkap koleksi kontak tanpa bermaksud menjadikan saya sebagai teman.

Postingan ini tidak saya tujukan buat teman-teman saya yg sudah jadi kontak saya sejak kemarin lho.
Aduw aduw….maaf….lagi sensi ini saya…mohon dimaklumi ya..Karena pengaruh hormon mid-MS barangkali yah, hingga saya jadi galak begini ^_^

Ini berkaitan dengan rencana kedepannya, saya berniat untuk lebih banyak menulis hal-hal yg cuma saya sharing dengan teman-teman kontak saya dan sifatnya lebih pribadi.

Jadi….mohon dengan amat sangat kebaikannya untuk bersedia mengerti maksud saya.
Terima kasih banyak yaaaaaaaaaaaaaa.
I do appreciate your very kind understanding.

Salam,
L